Nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalah​ ?

Nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalah​ ?

Jawaban 1 :

nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalahJihad dapat dimaknai sebagai “qital” atau “perang”, jihad juga dapat dimaknai untuk seluruh perbuatan yang memperjuangkan kebaikan.

Jihad dilakukan sesuai dengan keadaannya. Jika keadaannya menuntut seorang muslim berperang karena kaum muslim mendapat serangan musuh, maka jhad seperti itu wajib.

Namun jika dalam keadaan damai, maka medan jihad sangat luas, yaitu pada semua usaha untuk mewujudkan kebaikan seperti dakwah, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain.

Sangat tidak tepat, selalu memaknai jihad dengan “qital” atau “perang”, apalagi menggelorakan jihad dalam makna ini dalam keadaan damai

Dijawab Oleh :

Aryani, S.Pd

Jawaban 2 :

nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalahJihad dapat dimaknai sebagai “qital” atau “perang”, jihad juga dapat dimaknai untuk seluruh perbuatan yang memperjuangkan kebaikan.

Jihad dilakukan sesuai dengan keadaannya. Jika keadaannya menuntut seorang muslim berperang karena kaum muslim mendapat serangan musuh, maka jhad seperti itu wajib.

Namun jika dalam keadaan damai, maka medan jihad sangat luas, yaitu pada semua usaha untuk mewujudkan kebaikan seperti dakwah, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain.

Sangat tidak tepat, selalu memaknai jihad dengan “qital” atau “perang”, apalagi menggelorakan jihad dalam makna ini dalam keadaan damai

Dijawab Oleh :

Dra. Nilawati, M.Pd

Penjelasan :

Memahami Konteks dan Makna Jihad dalam Islam

Sebelum membahas lebih jauh mengenai alasan diizinkannya perang, penting untuk memahami makna jihad secara komprehensif. Secara etimologis, kata “jihad” berasal dari akar kata Arab “jahada” yang berarti “berjuang,” “bersungguh-sungguh,” atau “mengerahkan segenap kemampuan.” Ini menunjukkan bahwa esensi jihad adalah usaha maksimal untuk mencapai tujuan yang baik.

Baca Juga:  Tuliskan hadits tentang Ridho allah tergantung kepada keridhoan orangtua ?

Para ulama membagi jihad ke dalam beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri untuk taat kepada Allah SWT. Bentuk lainnya adalah jihad dengan ilmu (menyebarkan pengetahuan), dengan harta (berinfak di jalan Allah), dan dengan lisan (menyampaikan kebenaran). Qital atau peperangan fisik adalah salah satu bentuk jihad, namun ia berada dalam kerangka yang paling ketat dan terbatas.

Dua Alasan Utama Diizinkannya Jihad Peperangan

Dalam sirah nabawiyah (sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW), izin untuk melakukan perlawanan fisik tidak turun pada periode awal dakwah di Mekkah. Selama 13 tahun, umat Islam mengalami berbagai bentuk intimidasi, penyiksaan, dan boikot, namun mereka diperintahkan untuk bersabar. Izin berperang baru turun setelah hijrah ke Madinah, ketika umat Islam telah membentuk sebuah komunitas dan negara yang berdaulat. Para ahli sejarah dan tafsir menyimpulkan bahwa Nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalah pertahanan diri dan penghapusan tirani.

Alasan Pertama: Pertahanan Diri dari Kezaliman dan Agresi (Difaa’)

Alasan paling fundamental dan yang pertama kali menjadi sebab diizinkannya perang adalah untuk membela diri. Umat Islam diizinkan mengangkat senjata untuk melindungi nyawa, kehormatan, harta, dan kebebasan beragama mereka dari serangan dan penindasan kaum musyrikin Quraisy.

Izin ini secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj: 39)

Ayat ini turun di Madinah dan menjadi legitimasi pertama bagi kaum Muslimin untuk melakukan perlawanan. Frasa “karena sesungguhnya mereka telah dianiaya” menjadi penegas bahwa jihad dalam bentuk perang boleh dilakukan dengan sebab yang jelas, yaitu adanya kezaliman yang nyata.

Alasan Kedua: Menghilangkan Penghalang Dakwah dan Penindasan

Alasan kedua bersifat lebih luas, yaitu untuk menghilangkan tirani dan rezim opresif yang secara sistematis menghalangi sampainya pesan Islam kepada masyarakat luas. Tujuannya bukan untuk memaksa orang lain masuk Islam, karena Al-Qur’an dengan tegas menyatakan “tidak ada paksaan dalam (menganut) agama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Baca Juga:  Dalam surah Al Mu'min ayat 60 Allah berjanji bahwa​ ?

Tujuan jihad dalam konteks ini adalah untuk meruntuhkan struktur kekuasaan yang zalim, yang melarang kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Dengan hilangnya penghalang tersebut, masyarakat diberi kebebasan untuk memilih keyakinan mereka sendiri tanpa intimidasi. Peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah) menjadi contoh terbaik, di mana setelah kemenangan, Nabi Muhammad SAW memberikan pengampunan massal dan tidak memaksa penduduk Mekkah untuk masuk Islam.

Syarat dan Ketentuan yang Ketat

Bahkan ketika diizinkan, jihad peperangan diatur oleh etika dan aturan yang sangat ketat. Prinsip utamanya adalah perang tidak boleh melampaui batas. Dilarang keras membunuh warga sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran, seperti wanita, anak-anak, orang tua, dan pemuka agama di tempat ibadah mereka.

Selain itu, perusakan lingkungan, seperti menebang pohon buah-buahan atau merusak sumber air, juga dilarang. Aturan-aturan ini menunjukkan bahwa tujuan perang dalam Islam bukanlah pemusnahan, melainkan untuk menghentikan kezaliman dengan kerusakan seminimal mungkin.

Jihad dalam Bentuk Perang Boleh Dilakukan dengan Sebab: Sebuah Perspektif Syariah

Perspektif syariah Islam menegaskan bahwa perang bukanlah tujuan, melainkan alat terakhir yang dapat digunakan dalam kondisi terpaksa. Prinsip dasarnya adalah perdamaian. Namun, ketika perdamaian dirusak oleh agresi dan kezaliman, Islam menyediakan mekanisme pertahanan yang sah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jihad dalam bentuk perang boleh dilakukan dengan sebab yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan manusia.

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis

Selain QS. Al-Hajj: 39, banyak ayat lain yang menggarisbawahi sifat defensif dan bersyarat dari perang dalam Islam. Salah satunya adalah firman Allah SWT:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Ayat ini secara gamblang memerintahkan untuk hanya memerangi pihak yang memulai agresi (“orang-orang yang memerangi kamu”) dan memberikan peringatan keras untuk tidak melampaui batas. Hal ini kembali memperkuat tesis bahwa jihad dalam bentuk perang boleh dilakukan dengan sebab yang valid.

Implementasi pada Masa Kenabian

Sejarah peperangan pada masa Nabi Muhammad SAW menunjukkan implementasi prinsip ini. Perang Badar, perang besar pertama dalam sejarah Islam, terjadi setelah kaum kafir Quraisy mengirim pasukan untuk menyerang Madinah dan menghancurkan komunitas Muslim yang baru terbentuk. Perang ini murni bersifat defensif.

Baca Juga:  Apa yang dimaksud The right man on the right job at the right time ?

Demikian pula dengan Perang Khandaq (Parit), di mana umat Islam membangun parit di sekeliling Madinah untuk bertahan dari kepungan pasukan koalisi yang masif. Semua ini adalah bukti historis bahwa peperangan yang dilakukan berada dalam koridor pembelaan diri.

Kezaliman sebagai Pemicu Utama

Pemicu utama yang menjadi sebab diizinkannya perang adalah kezaliman (zulm) yang sistematis. Ini mencakup pengusiran dari tanah air, perampasan harta benda, penyiksaan fisik, dan ancaman terhadap eksistensi sebuah komunitas. Tanpa adanya elemen kezaliman ini, pintu untuk peperangan akan tetap tertutup.

Menjamin Kebebasan Beragama

Kondisi lain yang menjadi sebab adalah adanya penghalangan terhadap kebebasan beragama. Ketika sebuah rezim secara aktif menindas warganya dan melarang mereka untuk mendengar atau mempraktikkan ajaran agama lain, maka perlawanan dapat dibenarkan untuk menciptakan ruang kebebasan bagi semua. Ini bukan tentang supremasi, melainkan tentang emansipasi.

Membedakan Jihad yang Sah dan Tindakan Terorisme

Di era modern, pemahaman tentang jihad seringkali dikacaukan dengan tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstremis. Sangat penting untuk membedakan keduanya secara tegas.

Jihad yang sah menurut syariat memiliki ciri-ciri berikut:

  • Dideklarasikan oleh otoritas negara yang sah: Bukan oleh individu atau kelompok non-negara.
  • Memiliki sebab yang jelas dan dibenarkan (defensif): Seperti membela diri dari serangan atau menghentikan genosida.
  • Mengikuti etika perang yang ketat: Tidak menargetkan warga sipil, tidak merusak fasilitas umum, dan tidak melampaui batas.

Sebaliknya, terorisme adalah kebalikannya. Ia dilakukan oleh kelompok non-negara, bersifat ofensif dan membabi buta, serta sengaja menargetkan warga sipil untuk menyebarkan ketakutan. Tindakan semacam ini secara tegas diharamkan dalam Islam dan sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai jihad.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis historis dan teologis, jelas bahwa Nabi mengizinkan umat Islam untuk melakukan jihad peperangan bukan sebagai alat agresi, melainkan sebagai respons terhadap kondisi yang mendesak. Dua alasan utama, yaitu pertahanan diri dari kezaliman (difaa’) dan menghilangkan tirani yang menghalangi kebebasan berdakwah, menjadi landasan syariat yang kokoh.

Setiap izin untuk berperang selalu diiringi dengan syarat dan etika yang ketat, yang bertujuan untuk menjaga kemanusiaan dan meminimalisir kerusakan. Pemahaman yang benar menunjukkan bahwa jihad dalam bentuk perang boleh dilakukan dengan sebab yang sangat spesifik dan terbatas. Konsep ini sama sekali berbeda dengan terorisme modern yang membabi buta dan menargetkan orang-orang yang tidak bersalah, sebuah tindakan yang dikutuk keras oleh ajaran Islam itu sendiri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top