Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka artinya !

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka artinya !

Jawaban 1 :

Hadis yang Anda maksud adalah:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”

(“Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum.”)

Penjelasan:

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4031) dan dianggap hasan oleh sebagian ulama.

Makna hadis ini adalah peringatan agar kaum Muslimin tidak menyerupai orang-orang non-Muslim dalam hal yang menjadi ciri khas keagamaan atau budaya mereka yang bertentangan dengan Islam.

Pesan penting:

Hadis ini mengajarkan agar umat Islam menjaga identitas keislaman mereka, terutama dalam ibadah, akidah, dan moral.

Tidak berarti semua bentuk kesamaan (seperti pakaian modern atau teknologi) dilarang, selama tidak menyerupai dalam hal ibadah atau simbol kekufuran.

Dijawab Oleh :

Arif Kuswandi, S.Pd.I

Jawaban 2 :

Hadis yang Anda maksud adalah:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”

(“Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum.”)

Penjelasan:

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4031) dan dianggap hasan oleh sebagian ulama.

Makna hadis ini adalah peringatan agar kaum Muslimin tidak menyerupai orang-orang non-Muslim dalam hal yang menjadi ciri khas keagamaan atau budaya mereka yang bertentangan dengan Islam.

Pesan penting:

Hadis ini mengajarkan agar umat Islam menjaga identitas keislaman mereka, terutama dalam ibadah, akidah, dan moral.

Tidak berarti semua bentuk kesamaan (seperti pakaian modern atau teknologi) dilarang, selama tidak menyerupai dalam hal ibadah atau simbol kekufuran.

Dijawab Oleh :

Aryani, S.Pd

Penjelasan :

Membedah Hadits Populer: Asal-Usul dan Kedudukannya

Prinsip mengenai larangan menyerupai kaum lain berakar dari sebuah hadits yang diriwayatkan dengan kuat dalam literatur Islam. Teks lengkap hadits tersebut berbunyi:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitabnya, Sunan Abu Daud, dan dinilai sebagai hadits yang shahih atau hasan oleh banyak ulama ahli hadits, termasuk Syaikh Al-Albani. Kedudukannya yang kuat menjadikannya sebagai salah satu dalil utama dalam pembahasan mengenai tasyabbuh, atau tindakan menyerupai.

Baca Juga:  Hadis yang berbunyi " al-insanu mahallul khata wa an-nisyan" mengandung makna ?

Memahami asal-usul ini penting untuk menyadari bahwa ini bukanlah sekadar ucapan biasa, melainkan sebuah panduan yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW. Hadits ini menjadi fondasi bagi umat Islam untuk membangun dan memelihara identitas unik mereka di tengah keragaman umat manusia.

Makna Mendalam di Balik “Barangsiapa yang Menyerupai Suatu Kaum”

Sekilas, kalimat ini mungkin terdengar absolut dan kaku. Namun, para ulama telah memberikan penjelasan yang sangat rinci dan kontekstual agar kita tidak salah dalam memahaminya. Makna “menyerupai” (tasyabbuh) di sini tidak mencakup semua hal, melainkan berfokus pada aspek-aspek tertentu yang menjadi ciri khas suatu kaum.

Tasyabbuh: Lebih dari Sekadar Penampilan Fisik

Kata kunci dalam hadits ini adalah tasyabbuh, yang berarti ‘sengaja berusaha menyerupai’. Ini bukan sekadar kesamaan yang tidak disengaja, melainkan sebuah tindakan sadar untuk meniru gaya, kebiasaan, atau ritual kelompok lain.

Penyerupaan yang dilarang tidak hanya terbatas pada pakaian atau penampilan luar. Inti dari larangan ini menyentuh tiga area fundamental:

  • Aqidah (Keyakinan): Meniru keyakinan atau ideologi yang bertentangan dengan tauhid.
  • Ibadah (Ritual Peribadatan): Mengikuti atau berpartisipasi dalam ritual keagamaan kaum non-Muslim.
  • Adat dan Syiar Khas: Mengadopsi kebiasaan atau simbol yang secara spesifik menjadi identitas atau lambang keagamaan mereka.

Konteks Sejarah: Menjaga Identitas Umat Islam

Hadits ini turun dalam konteks di mana umat Islam yang baru terbentuk perlu membangun identitasnya sendiri, yang berbeda dari kaum Musyrikin di Mekah dan kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) di Madinah. Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap syariat Islam.

Dengan melarang penyerupaan, Islam mendorong umatnya untuk memiliki kemandirian dalam berpikir, berkeyakinan, dan berbudaya. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap murni dan tidak tercampur dengan keyakinan atau praktik yang bisa merusak aqidah.

Baca Juga:  Nabi mengizinkan umat Islam untuk jihad karena dua alasan salah satunya adalah​ ?

Larangan yang Bersifat Khas dan Identik

Titik terpenting yang harus dipahami adalah bahwa larangan tasyabbuh berlaku pada hal-hal yang menjadi ciri khas (syiar) suatu kaum, terutama dalam hal agama. Jika suatu hal telah menjadi universal dan tidak lagi identik dengan kelompok agama atau ideologi tertentu, maka ia keluar dari lingkup larangan ini.

Sebagai contoh, memakai dasi atau jas pada awalnya adalah budaya Barat. Namun, saat ini hal tersebut telah menjadi pakaian formal universal yang tidak lagi menjadi simbol agama atau kaum tertentu. Oleh karena itu, mengenakannya tidak termasuk dalam kategori tasyabbuh yang terlarang.

Batasan Tasyabbuh: Apa yang Boleh dan Apa yang Dilarang?

Untuk memberikan panduan praktis, para ulama membagi penyerupaan menjadi dua kategori besar: yang dilarang dan yang diperbolehkan. Memahami batasan ini membantu kita menerapkan hadits barangsiapa yang menyerupai suatu kaum secara bijak.

Area yang Dilarang: Aqidah, Ibadah, dan Simbol Khusus

Ini adalah zona merah yang tidak boleh dilanggar. Menyerupai kaum lain dalam area ini dapat membahayakan keimanan seseorang.

  • Meniru dalam Aqidah: Mengadopsi kepercayaan seperti trinitas, reinkarnasi, atau meyakini ada kekuatan lain selain Allah SWT.
  • Meniru dalam Ibadah: Ikut serta dalam perayaan Natal di gereja, ritual penyembahan berhala, atau perayaan hari raya keagamaan non-Muslim lainnya yang bersifat ritualistik.
  • Meniru Simbol Khas: Mengenakan kalung salib, Bintang Daud (sebagai simbol keyakinan), atau pakaian khusus pendeta/biksu.

Area yang Diperbolehkan: Teknologi, Ilmu Pengetahuan, dan Urusan Duniawi

Islam adalah agama yang mendorong kemajuan dan tidak anti-terhadap peradaban. Oleh karena itu, ada banyak hal yang boleh diambil dari kaum lain selama tidak bertentangan dengan syariat.

Adopsi Teknologi dan Inovasi

Menggunakan teknologi seperti internet, smartphone, atau kendaraan buatan non-Muslim sama sekali tidak dilarang. Rasulullah SAW sendiri pernah menggunakan strategi perang parit (khandaq) yang merupakan ide dari Salman Al-Farisi, yang berasal dari Persia. Ini menunjukkan bahwa mengambil ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan adalah hal yang dianjurkan.

Baca Juga:  Jual beli dgn sistem ijon hukumnya ?

Pakaian dan Kebiasaan yang Bersifat Universal

Pakaian seperti kemeja, celana jeans, atau batik (yang sudah menjadi budaya nasional) tidak lagi menjadi ciri khas satu kaum tertentu. Selama pakaian tersebut menutup aurat dan tidak menyerupai pakaian khas keagamaan lain, maka hukumnya boleh. Hal yang sama berlaku untuk kebiasaan umum seperti tata cara makan dengan sendok dan garpu atau model arsitektur rumah.

Relevansi Hadits di Era Globalisasi

Di zaman sekarang, di mana arus informasi dan budaya tidak terbendung, prinsip barangsiapa yang menyerupai suatu kaum menjadi semakin relevan. Hadits ini bukan ajakan untuk mengisolasi diri, melainkan seruan untuk menjadi seorang Muslim yang cerdas dan memiliki filter.

Panduan ini mengajarkan kita untuk:

  1. Memiliki Jati Diri yang Kuat: Bangga dengan identitas keislaman dan tidak mudah silau dengan budaya luar yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
  2. Bersikap Kritis: Mampu memilah dan memilih mana kebiasaan yang baik dan bermanfaat (urusan duniawi) dan mana yang merupakan simbol keyakinan lain (urusan akhirat).
  3. Menjadi Inovatif: Bukan sekadar meniru, tetapi terinspirasi untuk menciptakan kemajuan dan peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Kesimpulan

Hadits “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka” adalah sebuah panduan fundamental untuk menjaga kemurnian aqidah dan identitas seorang Muslim. Maknanya tidaklah melarang kita untuk mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, atau kebiasaan universal yang baik dari peradaban lain.

Inti larangannya terletak pada tindakan sengaja meniru hal-hal yang menjadi ciri khas, simbol, ritual ibadah, dan keyakinan kaum non-Muslim. Dengan memahami konteks dan batasannya secara benar, kita dapat menavigasi dunia modern yang majemuk dengan percaya diri, tetap menjadi Muslim yang taat, sekaligus menjadi bagian dari masyarakat global yang kontributif dan positif.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top