Apa yang dimaksud dengan tafsir bil ma’ sur dan tafsir bil ra’ yi ?
Jawaban 1 :
1. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
2. Tafsir bir-ra’yi adalah metode penafsiran dengan cara ijtihad dan penyimpulan melalui pemahaman sendiri serta penyimpulan yang hanya didasarkan pada ra’yu semata.
Dijawab Oleh :
Drs. Rochadi Arif Purnawan, M.Biomed
Jawaban 2 :
1. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
2. Tafsir bir-ra’yi adalah metode penafsiran dengan cara ijtihad dan penyimpulan melalui pemahaman sendiri serta penyimpulan yang hanya didasarkan pada ra’yu semata.
Dijawab Oleh :
Dra. Nilawati, M.Pd
Penjelasan :
Memahami Dua Pendekatan Utama dalam Ilmu Tafsir
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami esensi dari kedua metode ini. Keduanya bukanlah pendekatan yang saling bertentangan secara mutlak, melainkan dua cara yang berbeda untuk menggali mutiara hikmah dari lautan ayat-ayat Al-Qur’an. Perbedaan fundamental terletak pada sumber primer yang dijadikan rujukan dalam proses penafsiran.
Tafsir bil ma’tsur bersandar pada riwayat atau transmisi dari generasi sebelumnya, sedangkan tafsir bi al ra’yi memberikan ruang bagi akal dan ijtihad untuk berperan. Keduanya memiliki tempat masing-masing dan telah melahirkan karya-karya tafsir monumental yang menjadi rujukan umat Islam hingga hari ini.
Tafsir Bil Ma’tsur: Metode Penafsiran Berbasis Riwayat
Tafsir bil ma’tsur, sering juga disebut tafsir bi al-riwayah, adalah metode penafsiran yang mendasarkan penjelasannya pada sumber-sumber otentik yang telah ada. Metode ini dianggap sebagai cara paling aman untuk menghindari kesalahan subjektif dalam memahami firman Allah.
Definisi dan Landasan Tafsir Bil Ma’tsur
Secara bahasa, al-ma’tsur berarti “yang diriwayatkan” atau “yang dinukilkan”. Dengan demikian, tafsir ini adalah interpretasi Al-Qur’an yang bersumber dari:
- Tafsir ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya. Terkadang, sebuah ayat yang bersifat umum dijelaskan oleh ayat lain yang lebih spesifik.
- Tafsir Al-Qur’an dengan Hadis Nabi Muhammad SAW. Rasulullah adalah penjelas utama Al-Qur’an, sehingga sabda dan perbuatannya menjadi rujukan primer.
- Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para Sahabat. Mereka adalah generasi yang hidup bersama Nabi dan memahami konteks turunnya wahyu.
- Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para Tabi’in. Mereka adalah murid-murid para Sahabat yang mewarisi ilmu tafsir dari generasi sebelumnya.
Karakteristik Utama
Karakteristik tafsir bil ma’tsur adalah kehati-hatiannya yang tinggi. Seorang mufassir (ahli tafsir) dalam metode ini lebih berperan sebagai perawi dan kolektor, yang mengumpulkan dan menyeleksi riwayat-riwayat yang relevan untuk menjelaskan sebuah ayat. Pendapat pribadi sangat diminimalisir untuk menjaga kemurnian makna.
Contoh Kitab Tafsir Bil Ma’tsur
Beberapa karya agung yang menggunakan metode ini antara lain:
- Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an karya Imam Ibnu Jarir ath-Thabari.
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir.
Tafsir Bi Al Ra’yi: Peran Akal dan Ijtihad dalam Memahami Wahyu
Berbeda dengan metode sebelumnya, tafsir bi al ra’yi adalah metode penafsiran yang memberikan porsi pada penggunaan akal dan ijtihad. Metode ini menjadi penting ketika tidak ditemukan riwayat yang jelas dari Nabi atau para sahabat untuk menjelaskan suatu ayat tertentu.
Apa Itu Tafsir Bi Al Ra’yi?
Secara harfiah, ar-ra’yi berarti “pendapat” atau “akal”. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir melalui proses ijtihad (pengerahan kemampuan intelektual) berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan yang ketat. Penting untuk dicatat, ini bukanlah penafsiran yang didasarkan pada opini bebas atau hawa nafsu.
Seorang mufassir yang menggunakan pendekatan tafsir bi al ra’yi harus memiliki bekal ilmu yang sangat mumpuni. Mereka harus menguasai Bahasa Arab, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh-mansukh, dan berbagai disiplin ilmu Al-Qur’an lainnya.
Pembagian Tafsir Bi Al Ra’yi
Para ulama membagi tafsir bi al ra’yi menjadi dua kategori utama. Pembagian ini sangat krusial untuk membedakan mana penafsiran yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak.
Tafsir Bi Al Ra’yi al-Mahmud (Terpuji)
Ini adalah jenis tafsir bi al ra’yi yang dapat diterima dan dianggap sah. Penafsiran ini dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ketat, antara lain:
- Berpegang teguh pada kaidah-kaidah Bahasa Arab.
- Tidak bertentangan dengan dalil syar’i yang sudah pasti (qath’i).
- Dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi ilmu yang memadai.
- Memiliki niat yang tulus untuk mencari kebenaran, bukan untuk membenarkan pendapat pribadi atau golongan.
Tafsir ini berfungsi untuk menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman dan menjawab tantangan-tantangan baru yang belum pernah muncul di masa lalu. Contoh kitab tafsir dalam kategori ini adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi.
Tafsir Bi Al Ra’yi al-Madzmum (Tercela)
Jenis kedua adalah tafsir bi al ra’yi yang tercela dan dilarang keras. Penafsiran ini dilakukan semata-mata berdasarkan hawa nafsu, pendapat pribadi tanpa landasan ilmu, atau untuk mendukung agenda aliran sesat. Pelakunya menafsirkan ayat sesuai dengan keinginannya, meskipun harus menabrak kaidah bahasa dan prinsip-prinsip syariat.
Inilah jenis tafsir yang diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kritikan keras para ulama terhadap tafsir bi al ra’yi pada dasarnya tertuju pada jenis al-madzmum ini, bukan pada penggunaan akal yang bertanggung jawab.
Posisi dan Urgensi Tafsir Bi Al Ra’yi dalam Konteks Modern
Dalam menghadapi problematika kontemporer seperti bioetika, ekonomi digital, hingga isu lingkungan, Al-Qur’an tetap menjadi sumber petunjuk. Di sinilah peran tafsir bi al ra’yi (yang terpuji) menjadi sangat vital. Metode ini memungkinkan para ulama dan cendekiawan Muslim untuk menggali prinsip-prinsip universal dari Al-Qur’an dan menerapkannya pada konteks baru.
Tanpa adanya ijtihad yang terarah dalam tafsir, pesan Al-Qur’an bisa terasa beku dan tidak relevan. Oleh karena itu, tafsir bi al ra’yi yang mahmud memastikan bahwa Al-Qur’an senantiasa menjadi petunjuk yang hidup dan dinamis (shalih li kulli zaman wa makan), mampu menjawab setiap persoalan di setiap zaman.
Kesimpulan
Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bi al ra’yi adalah dua metodologi yang saling melengkapi dalam upaya memahami Al-Qur’an. Bil ma’tsur menjaga orisinalitas makna berdasarkan riwayat, sementara tafsir bi al ra’yi yang terpuji memberikan ruang bagi akal untuk menjadikan pesan Al-Qur’an relevan sepanjang masa.
Pada akhirnya, yang membedakan penafsiran yang benar dan salah bukanlah semata-mata antara riwayat dan akal. Pembeda utamanya adalah antara penafsiran yang didasari oleh ilmu yang kokoh dan niat yang tulus dengan penafsiran yang bersumber dari kebodohan dan hawa nafsu. Keduanya, jika digunakan dengan benar sesuai kaidahnya, adalah jalan untuk meraih pemahaman yang lebih dalam terhadap firman Allah SWT.
