Jual beli dgn sistem ijon hukumnya ?
Jawaban 1 :
Jual Beli Sistem Ijon
Suatu cerita seseorang bertanya kepada Ustadz :
Ustadz bolehkah menjual/membeli buah yang masih ada dibatangnya, sedangkan buah tersebut masih muda. seperti durian, seseorang membeli durian yang masih muda dan masih dibatangnya kemudian dia tunggu matang(gugur) sampai habis buahnya.
Jazakallahu khair atas jawaban ustadz
Jual beli ijon adalah jual beli yang terlarang (Haram) di dalam Islam karena ia mengandung unsur gharar/ketidak jelasan.
Dijawab Oleh :
Arif Kuswandi, S.Pd.I
Jawaban 2 :
Jual Beli Sistem Ijon
Suatu cerita seseorang bertanya kepada Ustadz :
Ustadz bolehkah menjual/membeli buah yang masih ada dibatangnya, sedangkan buah tersebut masih muda. seperti durian, seseorang membeli durian yang masih muda dan masih dibatangnya kemudian dia tunggu matang(gugur) sampai habis buahnya.
Jazakallahu khair atas jawaban ustadz
Jual beli ijon adalah jual beli yang terlarang (Haram) di dalam Islam karena ia mengandung unsur gharar/ketidak jelasan.
Dijawab Oleh :
Aryani, S.Pd
Penjelasan :
Memahami Apa Itu Sistem Ijon dalam Jual Beli
Sistem ijon adalah sebuah praktik jual beli di mana objek transaksi (misalnya hasil panen pertanian atau tangkapan ikan) diperjualbelikan sebelum barang tersebut siap dipanen atau diambil. Pembeli biasanya membayar sejumlah uang muka atau harga penuh di awal, dengan harapan akan mendapatkan barang tersebut di kemudian hari dengan harga yang telah disepakati, yang seringkali lebih rendah dari harga pasar saat panen.
Praktik ijon ini sering ditemukan dalam konteks pertanian, di mana seorang petani menjual hasil panennya (misalnya padi, jagung, atau buah-buahan) saat tanaman masih berupa bibit, bahkan sebelum ditanam. Pembeli, yang sering disebut tengkulak, memberikan modal kerja kepada petani. Demikian pula di sektor perikanan, nelayan bisa menjual hasil tangkapannya yang masih berada di laut, atau bahkan menjual jatah hasil tangkapan musim mendatang.
Karakteristik utama sistem ijon adalah adanya unsur ketidakpastian (gharar) terhadap jumlah, kualitas, atau bahkan keberadaan barang yang diperjualbelikan. Barang tersebut belum sepenuhnya ada atau belum siap untuk diserahkan saat akad jual beli terjadi. Transaksi ini didasarkan pada perkiraan atau janji, yang pada praktiknya seringkali merugikan pihak penjual karena adanya kebutuhan mendesak akan modal.
Perspektif Hukum Islam terhadap Jual Beli Sistem Ijon
Dalam hukum Islam, transaksi jual beli diatur dengan sangat detail untuk memastikan keadilan dan menghindari segala bentuk eksploitasi. Pertanyaan mengenai jual beli dengan sistem ijon hukumnya dalam Islam seringkali dikaitkan dengan beberapa prinsip dasar muamalah.
Prinsip-Prinsip Dasar Muamalah dalam Islam
Muamalah, atau hukum interaksi antarmanusia dalam Islam, memiliki prinsip-prinsip yang sangat ditekankan, antara lain:
- Kejelasan (Adam al-Gharar): Segala bentuk transaksi harus jelas, baik objek, harga, maupun syarat-syaratnya. Ketidakjelasan yang signifikan dapat membatalkan akad.
- Ketiadaan Riba: Larangan terhadap segala bentuk bunga atau keuntungan yang diperoleh secara tidak sah atau tanpa pertukaran nilai yang adil.
- Ketiadaan Kezaliman (Dzulum): Tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau dizalimi dalam transaksi.
- Kerelaan (Taradhin): Kedua belah pihak harus melakukan transaksi atas dasar suka sama suka dan tanpa paksaan.
- Keberadaan Objek (Wujud al-Ma’qud ‘Alaih): Objek yang diperjualbelikan pada umumnya harus sudah ada atau setidaknya memiliki kepastian keberadaannya.
Ijon dalam Kacamata Fiqih: Antara Sah dan Terlarang
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, mayoritas ulama dan pakar fiqih cenderung memandang praktik ijon sebagai transaksi yang bermasalah atau bahkan terlarang. Alasannya adalah unsur gharar (ketidakpastian) yang sangat tinggi. Ketika seseorang menjual hasil panen yang belum ada, misalnya, ada kemungkinan panen gagal total, hasil tidak sesuai harapan, atau harganya anjlok. Hal ini dapat menimbulkan kerugian besar bagi salah satu pihak, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan menghindari kezaliman.
Selain gharar, praktik ijon juga berpotensi menyerupai riba, terutama jika uang muka yang diberikan berfungsi sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dalam bentuk barang dengan harga yang sangat rendah, sehingga menguntungkan pembeli secara tidak wajar. Beberapa ulama juga mengaitkannya dengan larangan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya atau belum dalam kekuasaannya.
Syarat-Syarat Kontrak yang Diperbolehkan (Misalnya, Salam)
Meskipun ijon dalam bentuk umumnya dilarang, Islam memiliki skema jual beli yang memungkinkan transaksi atas barang yang belum ada, yaitu akad salam (pemesanan) atau akad istisna’ (pembuatan). Namun, kedua akad ini memiliki syarat-syarat ketat untuk menghindari gharar dan memastikan keadilan:
- Akad Salam: Objek transaksi harus disebutkan secara jelas sifat-sifatnya (jenis, kualitas, kuantitas), waktu dan tempat penyerahan yang pasti, dan harga dibayar tunai di muka. Pembeli memesan barang yang akan diproduksi atau disediakan di masa depan, dan penjual berjanji untuk menyediakannya.
- Akad Istisna’: Mirip dengan salam, tetapi lebih spesifik untuk barang-barang yang memerlukan proses pembuatan. Semua spesifikasi barang, harga, dan waktu penyerahan harus jelas.
Dalam konteks ini, jika praktik ijon dapat disesuaikan dengan syarat-syarat akad salam atau istisna’, maka jual beli dengan sistem ijon hukumnya bisa menjadi sah. Namun, dalam praktik ijon tradisional, syarat-syarat ini seringkali tidak terpenuhi, sehingga membuatnya bermasalah secara syariah.
Tinjauan Hukum Positif Indonesia Mengenai Praktik Ijon
Hukum positif Indonesia, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tidak secara spesifik menyebutkan atau melarang praktik ijon. Namun, prinsip-prinsip umum tentang sahnya suatu perjanjian dapat diterapkan untuk menilai legalitas jual beli dengan sistem ijon hukumnya dalam konteks hukum negara.
Asas Kebebasan Berkontrak dan Batasannya
KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa pun, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Dalam konteks ijon, meskipun para pihak mungkin setuju, perjanjian tersebut bisa saja bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum jika mengandung unsur yang merugikan salah satu pihak secara tidak adil atau melanggar norma kepatutan.
Unsur-Unsur Perjanjian yang Sah Menurut KUH Perdata
Pasal 1320 KUH Perdata menetapkan empat syarat sahnya suatu perjanjian:
-
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kedua belah pihak harus sepakat atau setuju tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Jika salah satu pihak terpaksa karena kondisi ekonomi yang mendesak, kesepakatan ini bisa diperdebatkan.
-
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Para pihak harus cakap hukum, artinya sudah dewasa dan tidak di bawah pengampuan.
-
Suatu hal tertentu
Objek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenis serta jumlahnya. Dalam sistem ijon, objek (hasil panen/tangkapan) seringkali belum pasti jumlah dan kualitasnya, yang bisa melanggar syarat ini. Ketidakjelasan objek dapat membuat perjanjian batal demi hukum.
-
Suatu sebab yang halal
Tujuan atau sebab dibuatnya perjanjian haruslah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Jika praktik ijon terbukti menyebabkan eksploitasi, penipuan, atau kerugian besar bagi satu pihak, maka sebabnya dapat dianggap tidak halal atau tidak patut.
Jika salah satu dari empat syarat sahnya perjanjian ini tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau bahkan batal demi hukum. Dalam kasus ijon, ketidakpastian objek dan potensi eksploitasi dapat menjadi dasar hukum untuk membatalkan perjanjian tersebut. Jadi, jual beli dengan sistem ijon hukumnya menurut hukum positif bisa dianggap tidak sah jika melanggar syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Praktik Jual Beli Ijon
Praktik ijon, meskipun seringkali menjadi jalan keluar instan bagi petani atau nelayan yang membutuhkan modal, memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, terutama bagi pihak penjual.
- Jebakan Utang dan Kemiskinan: Petani atau nelayan yang terikat sistem ijon seringkali mendapatkan harga yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Ini membuat mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan karena keuntungan yang didapat tidak cukup untuk meningkatkan taraf hidup. Mereka terus bergantung pada tengkulak untuk modal berikutnya.
- Ketidakpastian Pendapatan: Hasil panen atau tangkapan yang tidak sesuai ekspektasi (misalnya gagal panen, hama, cuaca buruk) akan sepenuhnya ditanggung oleh penjual. Meskipun sudah menerima uang muka, mereka tetap harus memenuhi janji atau bahkan berutang lebih banyak kepada pembeli.
- Ketergantungan pada Tengkulak: Sistem ijon menciptakan ketergantungan yang kuat pada tengkulak atau pembeli, yang seringkali memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Hal ini mengurangi otonomi ekonomi petani/nelayan.
- Hambatan Inovasi: Karena keuntungan yang minim, petani/nelayan sulit berinvestasi dalam teknologi atau praktik pertanian/perikanan yang lebih modern dan efisien, sehingga menghambat kemajuan sektor tersebut.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian pihak, ijon dianggap sebagai solusi cepat untuk mendapatkan modal tunai tanpa birokrasi yang rumit seperti pinjaman bank. Namun, manfaat jangka pendek ini seringkali dibayar mahal dengan dampak negatif jangka panjang.
Solusi dan Alternatif Jual Beli yang Lebih Adil dan Sesuai Syariat/Hukum
Melihat berbagai permasalahan yang ditimbulkan, diperlukan solusi dan alternatif yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip hukum serta syariat untuk mengatasi masalah modal bagi petani dan nelayan.
- Penerapan Akad Salam yang Sesuai Syarat: Lembaga keuangan syariah atau koperasi dapat memfasilitasi akad salam yang memenuhi syarat. Petani/nelayan mendapatkan modal di muka, sementara pembeli (lembaga) mendapatkan kepastian pasokan dengan harga yang disepakati, namun dengan transparansi dan kejelasan yang melindungi kedua belah pihak.
- Pembiayaan Pertanian/Perikanan Berbasis Syariah: Model pembiayaan seperti murabahah (jual beli barang dengan keuntungan yang disepakati), mudharabah (bagi hasil keuntungan), atau musyarakah (patungan modal dan bagi hasil risiko) dapat menjadi alternatif yang lebih adil dan transparan.
- Peran Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro: Koperasi petani atau nelayan dapat menjadi wadah untuk mengumpulkan modal, memberikan pinjaman dengan bunga rendah, serta membantu pemasaran produk sehingga petani/nelayan tidak perlu terjerat praktik ijon. Lembaga keuangan mikro juga dapat memberikan akses permodalan yang lebih mudah dan adil.
- Edukasi dan Literasi Keuangan: Peningkatan pemahaman petani dan nelayan tentang hak-hak mereka, jenis-jenis kontrak yang adil, serta literasi keuangan akan membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik dan menghindari praktik yang merugikan.
- Kontrak yang Jelas dan Tertulis: Jika terpaksa harus melakukan transaksi jual beli hasil yang belum ada, pastikan semua syarat, jumlah, kualitas, harga, waktu dan tempat penyerahan, serta risiko-risiko yang mungkin terjadi dituliskan secara jelas dalam kontrak yang disepakati bersama.
Kesimpulan
Pertanyaan mendasar mengenai jual beli dengan sistem ijon hukumnya bagaimana telah dijawab melalui tinjauan dari dua perspektif utama: hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Secara umum, praktik ijon yang tradisional dan tidak memenuhi syarat-syarat kejelasan, keadilan, serta kepastian objek, cenderung dianggap bermasalah atau bahkan tidak sah.
Dalam hukum Islam, jual beli dengan sistem ijon hukumnya seringkali haram karena mengandung unsur gharar (ketidakpastian) yang tinggi, potensi riba, dan dzulum (kezaliman). Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia, praktik ijon dapat dinyatakan tidak sah jika melanggar syarat sahnya perjanjian, terutama terkait objek yang tidak jelas (suatu hal tertentu) dan potensi eksploitasi (sebab yang halal).
Meskipun sistem ijon mungkin menawarkan solusi cepat untuk masalah modal, dampaknya terhadap keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan petani atau nelayan seringkali negatif, menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan. Oleh karena itu, penting untuk mendorong dan menerapkan alternatif-alternatif yang lebih adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah maupun hukum, seperti akad salam yang memenuhi syarat, pembiayaan syariah, serta peran aktif koperasi dan lembaga keuangan mikro. Dengan demikian, keadilan ekonomi dapat terwujud dan sektor pertanian serta perikanan dapat berkembang secara berkelanjutan.
